Senin, 03 Januari 2011

Pelayanan Publik


Oleh: Muhammad Nurul Falah Huseini 2010
Birokrasi dan pelayanan publik, merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Pada dasarnya birokrasi memiliki pengertian yang sama dengan administrasi, jadi bila ada istilah administrasi pemerintahan, maka dapat pula kita sebut juga dengan birokrasi pemerintahan, atau lebih akrab disingkat birokrasi saja. Sedang pelayanan publik dapat diartikan sebagai pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai kepentingan yang berkaitan dengan suatu organisasi pemerintah, dimana organisasi pemerintah tersebut bersangkutan dengan kepentingan masyarakat tersebut, melalui suatu proses administrasi dan aturan yang telah ditetapkan. Dari sini terlihatlah hubungan yang erat antara birokrasi dan pelayanan publik. Jadi dapat dikatakan dalam usahanya untuk memperoleh pelayanan dari pihak pemerintah dalam hal masyarakat tersebut memiliki kepentingan tertentu, masyarakat harus melalui suatu proses yang disebut birokrasi.
Ketika mendengar kata birokrasi mungkin sebagian dari masyarakat akan mengasosiasikannya dengan sesuatu yang bertele-tele, proses panjang, mahal, dan hal lain yang tidak menyenangkan berkaitan dengan pelayanan publik. Gambaran umum sebagian masyarakat tentang birokrasi tersebut, tentunya akan terlihat jauh dari pengertian birokrasi menurut Max Weber. Max Weber menyebut istilah birokrasi untuk suatu tipe atau model organisasi yang sangat menekankan pada rasionalitas, ketertiban dan efisiensi, yang dianggap tepat untuk organisasi besar seperti pemerintahan.
Pengertian secara teoritis yang digagas oleh Max Weber diatas bertentangan dengan apa yang dibayangankan sebagian masyarakat pada umumnya seperti yang diungkapakan di atas. Hal ini disebabkan karena adanya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan pengorganisasian pemerintahan dalam praktek di lapangan. Pada masa-masa pemerintahan terdahulu misalnya orde baru, tidak dapat dipungkiri jika sistem birokrasi kita tidak jelas, dan cenderung menjadi lembaga politik ketimbang lembaga administratif. Sehingga birokrasi menjadi lembaga upeti, minta dilayani- bukan sebaliknya yang seharusnya melayani publik. Untuk itu, refleksi kesejarahan birokrasi dapat dijadikan tonggak, bagaimana sistem birokrasi tersebut harus dibentuk (Agus Bandono, 2001).
Seiring dengan berjalannya waktu, pemerintah nampaknya mulai berbenah di berbagai lini dengan tujuan yang mungkin untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang dalam pelayanannya dan akhirnya mencapai suatu titik dimana birokrasi akan menjadi suatu pengorganisasian yang tertib, tertata dan teratur dalam hubungan kerja yang berjenjang serta mempunyai prosedur kerja yang tersusun jelas. Tentunya ini merupakan dambaan seluruh masyarakat demi tercapainya negara yang sejahtera. Usaha tersebut tentunya pula harus dibarengi dengan adanya sikap mental yang berpegang teguh pada norma dimasyarakat dan merasa dirinya sebagai abdi masyarakat dan bukan sebaliknya, serta dengan menjunjung tinggi profesionalitas bagi para pelaku yang menjalankannya.
Birokrasi dan pelayanan publik yang baik dan profesional, tentunya akan berjalan dengan adanya orang-orang yang menjalankannya. Orang yang menjalankan birokrasi dalam pelayanan publik, disebut dengan pegawai negeri, dikenal sebagai pelayan (abdi) masyarakat. Orang yang melaksanakan birokrasi erat kaitannya dengan fungsi pengaturan yang diembannya, yaitu pemeliharaan sistem, yakni mewujudkan ketertiban sosial. Orang atau pejabat birokrasi biasanya disebut juga dengan birokrat. Di negara demokrasi seperti Indonesia, birokrat adalah pejabat publik yang diangkat, dipertahankan, dan dipromosikan melalui sistem merit (berdasarkan prestasi atau kinerja), mereka bukan pejabat yang diangkat secara politis, sehingga mereka mempunyai posisi yang relatif aman.
Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelayan masyarakat dalam pelayanan publik, para birokrat kembali dituntut untuk menjaga integritasnya dan tetap profesional. Atas kinerja para birokrat tersebut, setiap masyarakat mungkin memiliki pendapatnya masing-masing yang mungkin berbeda antara satu dengan yang lain atau bahkan sama atau hampir sama. Penulis secara pribadi memiliki pengalaman sendiri tentang pelayanan publik ini yang akan di ungkapkan dalam contoh kemudian. Intinya dalam menjalankan tugasnya, para birokrat diharapkan dapat profesional dan penuh rasa tanggung jawab, bekerja sesuai sasaran, sederhana, efektif dan efisien, transparan, dan cepat.
Selanjutnya, mari kita bandingkan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah dengan pelayanan publik oleh swasta. Dalam kesempatan kali ini pihak swasta merupakan sebutan bagi pihak yang bekerja dalam pelayanan publik yang berasal dari luar pemerintah dengan tujuannya masing-masing.
Sebagai contoh dalam melaksanakan pelayanannya suatu instansi pemerintah di daerah yang bergerak dalam pelayanan publik secara langsung akan berbeda pula pelayanannya dengan pelayanan publik oleh swasta yang memberikan pelayanan sejenis. Ada beberapa penyebab adanya perbedaan ini. Salah satunya  yang khusus penulis ungkapkan adalah adanya insentif (dorongan) yang berbeda, juga motif yang berbeda pula. Pada umumnya pihak swasta memberikan pelayanan terbaik seiring dengan kepuasan pelanggan, ini juga akan seiring dengan profit yang akan mereka terima (unsur laba). Hal ini tentunya berbeda dengan pelayanan publik pada umumnya yang tidak mengedepankan unsur profit (laba) dalam melaksanakan tugasnya dan belum tentu mengutamakan kepuasan masyarakat bagi masing-masing pelakunya.  Perbedaan ini kelak akan berpengaruh pada perbedaan pola sikap dan mental bagi masing-masing baik pemerintah maupun swasta. Penghasilan yang didapat juga dapat menjadi motif lain yang erat kaitannya dengan pola sikap dan mental. Penghasilan yang diterima di pihak swasta pada umumnya akan berdampingan erat dengan laba yang mereka dapat. Ini berbeda dengan penghasilan para pegawai negeri yang relatif lebih stabil dan ditentukan oleh kemampuan keuangan pemerintah. Inilah yang menjadi alasan atas berbedanya pola sikap dan mental. Para pegawai swasta akan menjunjung tinggi kepuasan pelanggan karena ini berkaitan dengan hasil yang akan mereka terima, sedang para pegawai pemerintah bisa saja tidak terpengaruh akan hal ini, karena sikap dan mental yang beranggapan bahwa keras tidaknya usaha mereka dalam bekerja, tidak akan mempengaruhi hasil yang akan mereka terima. Untuk itu, usaha keras pemerintah dalam meningkatkan pelayanan publik yang berkaitan dengan masalah ini sangat diperlukan. Usaha tersebut dapat dengan adanya insentif dari pemerintah yang kini santer disebut-sebut yaitu remunerasi yang diharapkan menjadi pemacu semangat para pelayan masyarakat ini agar dapat memberikan pelayanan yang terbaik pada masyarakat. Selain itu adanya tuntutan profesionalitas dan evaluasi kinerja juga penting demi tercapainya pelayanan masyarakat yang baik. Pola pikir para pegawai negeri yang negatif yang dapat menyebabkan terlihat buruknya pelayanan publik ini seperti sikap malas, tidak adanya etos kerja dan pikiran bahwa tidak adanya pengaruh jika mereka berperilaku rajin atau malas, ini tentunya tidak diharapkan ada dalam pikiran para birokrat negeri ini. Untuk itu, tidak menutup kemungkinan perlu adanya dorongan lain yang dapat menimbulkan iklim kompetisi yang sehat antara pegawai yang dapat berupa penghargaan yang layak dan adanya reward bagi mereka yang berbeda ini (rajin).
Pada akhirnya diharapkan agar pemerintah dapat cepat tanggap dan senantiasa berbenah diri bergegas menyiapkan kopornya dan siap tinggal landas untuk berhijrah menuju negara sejahtera yang senantiasa mengutamakan pelayanan publik. Itu semua ddapat terwujud dengan sokongan dari berbagai pihak dalam masyarakat, disertai dengan kesungguhan untuk mau berubah menuju ke yang lebih baik. Ini bukan tidak mungkin akan terjadi jika kesungguhan itu tertancap dalam pikiran dan hati masing-masing masyarakat, khususnya para birokrat kita. Selain itu, tidak lupa pula agar kita senantiasa memohon kepada Yang Maha Kuasa.

Selasa, 09 November 2010

Kasus Enron



Kasus kegagalan audit berskala besar yang terjadi di Amerika Serikat, seperti kasus yang menimpa Enron, telah menimbulkan kembali skeptisisme masyarakat mengenai ketidakmampuan profesi akuntan dalam menjaga independensi. Koroy (2005) mengemukakan bahwa independensi akuntan mendapat sorotan tajam diarahkan pada perilaku auditor ketika berhadapan dengan klien yang dipersepsikan gagal menjalankan perannya sebagai auditor independen. Auditor dalam dua dekade belakangan ini dipandang justru bertindak melayani atau menjadi bersikap secara advokasi bagi klien (lihat juga Schuetze, 1994).
Bazerman et al., (1997) mengemukakan bahwa upaya mencapai independensi adalah
mustahil, dan pendekatan-pendekatan profesi auditing yang ada sekarang ini adalah naif dan tidak realistis. Kerangka audit yang ada mengimplikasikan tujuan independensi yang mencoba
menghilangkan bias oleh auditor sehingga dapat mencapai objektivitas.
Bazerman et al., (1997) mengemukakan bahwa seringkali akuntan bersifat subjektif dan
ada hubungan yang erat antara kantor akuntan publik (KAP) dan kliennya. Auditor yang paling
jujur dan cermat sekalipun akan secara tidak sengaja mendistorsi angka-angka sehingga dapat
menutupi keadaan keuangan yang sebenarnya dari suatu perusahaan. Munculnya pandangan skeptis terhadap profesi akuntan publik memang beralasan karena cukup banyak laporan keuangan suatu perusahaan yang mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian, tetapi justru mengalami kebangkrutan setelah opini tersebut dikeluarkan.
Misalnya, seperti kasus Enron yang melibatkan KAP Arthur Andersen di Amerika Serikat yang berakibat pada menurunnya kepercayaan investor terhadap integritas penyajian laporan keuangan.
Satu dampak yang sangat jelas pada saat kasus Enron yaitu para investor yang merugi
karena nilai saham Enron yang ambruk sangat dramatis. Hal tersebut disebabkan manajemen Enron yang telah melakukan window dressing dengan memanipulasi angka-angka laporan keuangan agar kinerjanya tampak baik. Bahkan, pendapatan di-mark-up sebesar US$ 600 juta,
dan utang senilai US$ 1,2 miliar disembunyikan dengan teknik off-balance sheet. Auditor Enron,
Arthur Andersen kantor Huston, disalahkan karena ikut membantu proses rekayasa keuangan tingkat tinggi itu. Manipulasi ini telah berlangsung bertahun-tahun, sehingga Sherron Watskin,
salah satu eksekutif Enron yang tidak tahan lagi terlibat dalam manipulasi itu, mulai melaporkan
praktik tidak terpuji tersebut.
Kontroversi yang lain yaitu mundurnya beberapa eksekutif terkemuka Enron dan "dipecatnya" sejumlah rekan (partner) Andersen. Selain itu, kisah pemusnahan ribuan surat elektronik dan dokumen lainnya yang berhubungan dengan audit Enron oleh petinggi di firma
audit Arthur Andersen juga ikut terungkap. Karena masalah tersebut, Arthur Andersen harus berjuang keras menghadapi berbagai tuduhan, bahkan berbagai tuntutan di pengadilan.
Diperkirakan tidak kurang dari $ 32 miliar harus disediakan Arthur Andersen untuk dibayarkan kepada para pemegang saham Enron yang merasa dirugikan karena audit yang tidak benar (Said, 2002).
 
Dikutip dari “Pengaruh Pengalaman  Audit Terhadap Pertimbangan Auditor dengan Kredibilitas Klien Sebagai Variabel Moderating” Tesis karya Budi Susetyo, 2009

Ulasan kasus Enron ditinjau dari segi Etika Profesi adalah sebagai berikut.
Berdasarkan penggalan tesis karya Budi susetyo tersebut, dapat diterangkan beberapa hal yang mempengaruhi kepercayaan masyarakat atas profesi akuntan. Dari segi etika profesi akuntan dapat dilihat bahwa KAP Arthur Andersen selaku Auditor perusahaan Enron, telah melanggar kode etik akuntan. Mengacu pada kode etik akuntan Indonesia, pelanggaran tersebut diantaranya meliputi pelanggaran terhadap sebagai berikut.
1.      Tanggung Jawab Profesi
Akuntan public yang bersangkutan sudah tidak melaksanakan tanggung jawabnya sebagai seorang professional.
2.      Kepentingan Publik
Akuntan public yang bersangkutan sudah tidak menghormati kepercayaan yang telah diberikan oleh public dengan tidak memberikan informasi yang sebenarnya dibutuhkan public.
3.      Integritas
Akuntan public yang bersangkutan sudah tidak memegang teguh kejujuran yang harusnya ia jaga demi menghormati kepercayaan piblik.
4.      Objektivitas
Akuntan public yang bersangkutan sudah tidak bebas dari benturan kepentingan dengan tanggung jawab profesionalnya.
 
         Selain itu, Akuntan public yang bersangkutan mengesampingkan nilai-nilai moral dalam masyarakat dengan tidak berbuat jujur dan adil dalam melaksanakan profesinya.