Oleh:
Muhammad Nurul Falah Huseini 2010
Birokrasi
dan pelayanan publik, merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Pada dasarnya
birokrasi memiliki pengertian yang sama dengan administrasi, jadi bila ada
istilah administrasi pemerintahan, maka dapat pula kita sebut juga dengan
birokrasi pemerintahan, atau lebih akrab disingkat birokrasi saja. Sedang pelayanan
publik dapat diartikan sebagai pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai
kepentingan yang berkaitan dengan suatu organisasi pemerintah, dimana
organisasi pemerintah tersebut bersangkutan dengan kepentingan masyarakat
tersebut, melalui suatu proses administrasi dan aturan yang telah ditetapkan. Dari
sini terlihatlah hubungan yang erat antara birokrasi dan pelayanan publik. Jadi
dapat dikatakan dalam usahanya untuk memperoleh pelayanan dari pihak pemerintah
dalam hal masyarakat tersebut memiliki kepentingan tertentu, masyarakat harus
melalui suatu proses yang disebut birokrasi.
Ketika
mendengar kata birokrasi mungkin sebagian dari masyarakat akan
mengasosiasikannya dengan sesuatu yang bertele-tele, proses panjang, mahal, dan
hal lain yang tidak menyenangkan berkaitan dengan pelayanan publik. Gambaran
umum sebagian masyarakat tentang birokrasi tersebut, tentunya akan terlihat
jauh dari pengertian birokrasi menurut Max Weber. Max Weber menyebut istilah
birokrasi untuk suatu tipe atau model organisasi yang sangat menekankan pada
rasionalitas, ketertiban dan efisiensi, yang dianggap tepat untuk organisasi
besar seperti pemerintahan.
Pengertian
secara teoritis yang digagas oleh Max Weber diatas bertentangan dengan apa yang
dibayangankan sebagian masyarakat pada umumnya seperti yang diungkapakan di
atas. Hal ini disebabkan karena adanya penyimpangan-penyimpangan dalam
pelaksanaan pengorganisasian pemerintahan dalam praktek di lapangan. Pada masa-masa
pemerintahan terdahulu misalnya orde baru, tidak dapat dipungkiri jika sistem
birokrasi kita tidak jelas, dan cenderung menjadi lembaga politik ketimbang
lembaga administratif. Sehingga birokrasi menjadi lembaga upeti, minta
dilayani- bukan sebaliknya yang seharusnya melayani publik. Untuk itu, refleksi
kesejarahan birokrasi dapat dijadikan tonggak, bagaimana sistem birokrasi
tersebut harus dibentuk (Agus Bandono, 2001).
Seiring
dengan berjalannya waktu, pemerintah nampaknya mulai berbenah di berbagai lini
dengan tujuan yang mungkin untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang dalam
pelayanannya dan akhirnya mencapai suatu titik dimana birokrasi akan menjadi
suatu pengorganisasian yang tertib, tertata dan teratur dalam hubungan kerja
yang berjenjang serta mempunyai prosedur kerja yang tersusun jelas. Tentunya
ini merupakan dambaan seluruh masyarakat demi tercapainya negara yang
sejahtera. Usaha tersebut tentunya pula harus dibarengi dengan adanya sikap
mental yang berpegang teguh pada norma dimasyarakat dan merasa dirinya sebagai
abdi masyarakat dan bukan sebaliknya, serta dengan menjunjung tinggi
profesionalitas bagi para pelaku yang menjalankannya.
Birokrasi
dan pelayanan publik yang baik dan profesional, tentunya akan berjalan dengan
adanya orang-orang yang menjalankannya. Orang yang menjalankan birokrasi dalam
pelayanan publik, disebut dengan pegawai negeri, dikenal sebagai pelayan (abdi)
masyarakat. Orang yang melaksanakan birokrasi erat kaitannya dengan fungsi
pengaturan yang diembannya, yaitu pemeliharaan sistem, yakni mewujudkan
ketertiban sosial. Orang atau pejabat birokrasi biasanya disebut juga dengan
birokrat. Di negara demokrasi seperti Indonesia, birokrat adalah pejabat publik
yang diangkat, dipertahankan, dan dipromosikan melalui sistem merit (berdasarkan
prestasi atau kinerja), mereka bukan pejabat yang diangkat secara politis, sehingga
mereka mempunyai posisi yang relatif aman.
Dalam
melaksanakan tugasnya sebagai pelayan masyarakat dalam pelayanan publik, para
birokrat kembali dituntut untuk menjaga integritasnya dan tetap profesional. Atas
kinerja para birokrat tersebut, setiap masyarakat mungkin memiliki pendapatnya
masing-masing yang mungkin berbeda antara satu dengan yang lain atau bahkan
sama atau hampir sama. Penulis secara pribadi memiliki pengalaman sendiri
tentang pelayanan publik ini yang akan di ungkapkan dalam contoh kemudian. Intinya
dalam menjalankan tugasnya, para birokrat diharapkan dapat profesional dan
penuh rasa tanggung jawab, bekerja sesuai sasaran, sederhana, efektif dan
efisien, transparan, dan cepat.
Selanjutnya,
mari kita bandingkan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah dengan pelayanan
publik oleh swasta. Dalam kesempatan kali ini pihak swasta merupakan sebutan
bagi pihak yang bekerja dalam pelayanan publik yang berasal dari luar
pemerintah dengan tujuannya masing-masing.
Sebagai
contoh dalam melaksanakan pelayanannya suatu instansi pemerintah di daerah yang
bergerak dalam pelayanan publik secara langsung akan berbeda pula pelayanannya
dengan pelayanan publik oleh swasta yang memberikan pelayanan sejenis. Ada
beberapa penyebab adanya perbedaan ini. Salah satunya yang khusus penulis ungkapkan adalah adanya
insentif (dorongan) yang berbeda, juga motif yang berbeda pula. Pada umumnya
pihak swasta memberikan pelayanan terbaik seiring dengan kepuasan pelanggan,
ini juga akan seiring dengan profit yang akan mereka terima (unsur laba). Hal ini
tentunya berbeda dengan pelayanan publik pada umumnya yang tidak mengedepankan
unsur profit (laba) dalam melaksanakan tugasnya dan belum tentu mengutamakan
kepuasan masyarakat bagi masing-masing pelakunya. Perbedaan ini kelak akan berpengaruh pada
perbedaan pola sikap dan mental bagi masing-masing baik pemerintah maupun
swasta. Penghasilan yang didapat juga dapat menjadi motif lain yang erat
kaitannya dengan pola sikap dan mental. Penghasilan yang diterima di pihak
swasta pada umumnya akan berdampingan erat dengan laba yang mereka dapat. Ini
berbeda dengan penghasilan para pegawai negeri yang relatif lebih stabil dan
ditentukan oleh kemampuan keuangan pemerintah. Inilah yang menjadi alasan atas
berbedanya pola sikap dan mental. Para pegawai swasta akan menjunjung tinggi
kepuasan pelanggan karena ini berkaitan dengan hasil yang akan mereka terima,
sedang para pegawai pemerintah bisa saja tidak terpengaruh akan hal ini, karena
sikap dan mental yang beranggapan bahwa keras tidaknya usaha mereka dalam
bekerja, tidak akan mempengaruhi hasil yang akan mereka terima. Untuk itu, usaha
keras pemerintah dalam meningkatkan pelayanan publik yang berkaitan dengan
masalah ini sangat diperlukan. Usaha tersebut dapat dengan adanya insentif dari
pemerintah yang kini santer disebut-sebut yaitu remunerasi yang diharapkan
menjadi pemacu semangat para pelayan masyarakat ini agar dapat memberikan
pelayanan yang terbaik pada masyarakat. Selain itu adanya tuntutan profesionalitas
dan evaluasi kinerja juga penting demi tercapainya pelayanan masyarakat yang
baik. Pola pikir para pegawai negeri yang negatif yang dapat menyebabkan
terlihat buruknya pelayanan publik ini seperti sikap malas, tidak adanya etos
kerja dan pikiran bahwa tidak adanya pengaruh jika mereka berperilaku rajin
atau malas, ini tentunya tidak diharapkan ada dalam pikiran para birokrat
negeri ini. Untuk itu, tidak menutup kemungkinan perlu adanya dorongan lain
yang dapat menimbulkan iklim kompetisi yang sehat antara pegawai yang dapat berupa
penghargaan yang layak dan adanya reward
bagi mereka yang berbeda ini (rajin).
Pada
akhirnya diharapkan agar pemerintah dapat cepat tanggap dan senantiasa berbenah
diri bergegas menyiapkan kopornya dan siap tinggal landas untuk berhijrah
menuju negara sejahtera yang senantiasa mengutamakan pelayanan publik. Itu semua
ddapat terwujud dengan sokongan dari berbagai pihak dalam masyarakat, disertai
dengan kesungguhan untuk mau berubah menuju ke yang lebih baik. Ini bukan tidak
mungkin akan terjadi jika kesungguhan itu tertancap dalam pikiran dan hati
masing-masing masyarakat, khususnya para birokrat kita. Selain itu, tidak lupa
pula agar kita senantiasa memohon kepada Yang Maha Kuasa.